31 Oktober 2007

Ethanol Selulosa: Bahan Bakar Masa Depan?
diringkas dari sumbernya

Amerika Serikat berencana mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi dengan substitusi ke sumber energi alternatif lain, termasuk bahan bakar yang berasal dari material biologis atau biofuel.

Saat ini biofuel yang banyak dipakai di negara tersebut adalah ethanol dari proses distilasi biji jagung. Ada sekitar 140 pabrik penyulingan biofuel di seluruh Amerika Serikat yang menghasilkan lebih dari 5 milyar gallon tiap tahun. Akan tetapi diperkirakan ethanol dari jagung tidak akan mampu mencapai target 35 milyar gallon dalam 10 tahun ke depan sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar fosil seperti yang ditargetkan negara itu. Hal ini disebabkan pengolahan biji jagung untuk menghasilkan 35 milyar gallon ethanol per tahun membutuhkan penambahan lahan pertanian 129.000 mil persegi yang sangat luas.

Demi mencapai target tersebut, Chris Somerville - Professor pada Departemen Biologi Universitas Stanford, menyarankan memperbesar produksi ethanol selulosa dari distilasi fragmen gula pada tumbuhan, tidak hanya bijinya saja.

Tumbuhan yang cocok: Rumput

Tumbuhan ini terdiri atas polysaccharides, seperti selulosa yang dapat dikonfersi menjadi ethanol dengan fragmentasi. Tumbuhan yang cocok untuk menghasilkan ethanol selulosa adalah Miscanthus, yaitu rerumputan yang tumbuh sepanjang tahun asli daerah tropis dan subtropis, seperti daerah Afrika dan Asia Tenggara.

Miscanthus memerlukan lebih sedikit air per gram untuk menghasilkan biomas (biofuel) daripada tumbuhan lain. Tumbuhan ini juga menghasilkan dua kali lebih besar biomas daripada jenis rumput lain, sehingga memerlukan lahan yang lebih kecil.

Miscanthus sinensis (sumber)

Konfersi energi fosil menjadi biomas akan mengurangi emisi gas-gas "rumah kaca". Walaupun kita memiliki cadangan batubara cukup besar yang dapat dikonfersi menjadi bahan bakar cari, tapi produk samping bahan bakar ini sangat mengerikan berupa emisi gas CO2. Biomas merupakan sumber energi "carbon-neutral", karena tumbuhan menyerap CO2 yang ada di atmosfer selama proses fotosintesis, di mana CO2 tersebut diantaranya juga merupakan salah satu produk akhir penggunaan (pembakaran) biomas.

Biaya Lingkungan

Aktifis lingkungan mengkritisi gagasan ekstensifikasi besar-besaran ladang jagung atau rumput untuk menggenjot produksi ethanol. Mereka beranggapan gagasan tersebut akan memperluas konfersi hutan menjadi lahan ethanol (deforestation) yang selanjutnya mengancam biodiversiti. Summervile menjawab kritik tersebut dengan menyarankan ekstensifikasi sebaiknya dilakukan pada lahan-lahan yang sudah dimanfaatkan untuk pertanian saat ini (bukan membuka/konfersi hutan). Beliau juga beranggapan, konfersi hutan dalam skala besar sebenarnya sudah terjadi di daerah tropis seperti Malaysia, Indonesia dan Filipina. Hutan di daerah tersebut telah dikonfersi menjadi perkebunan kelapa sawit untuk membangun bisnis biomas, karena kelapa sawit dapat dikonfersi menjadi biodisel dengan sangat efisien dan investasi kecil. Apakah benar hal tersebut menyebabkan perubahan iklim? (Ini pertanyaan yang belum terjawab-s).

Sebaliknya, perubahan iklim mengancam biodiversiti, Hutan di British Columbia hilang dalam jumlah tertentu karena serangga dalam jumlah besar. Udara musim dingin tidak cukup dingin untuk membunuh kawanan besar serangga tersebut, sehingga serangga tersebut malah melenyapkan hutan tempatnya tinggal.

Substitusi bahan bakar fosil ke biomas merupakan hal penting untuk masa yang akan datang. Di akhir pemaparannya summerville melempar pertanyaan, apakah para investor siap menanamkan uangnya di bisnis biofuel (agar konfersi energi ini terjadi, dengan mempertimbangkan kondisi cadangan bahan bakar fosil yang semakin menipis dan pengaruh "pemanasan global" karena pemakaian bahan bakar fosil- ini qoute tambahan dari saya).